Almisry Al Isaqi
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa “Presiden tidak punya tongkat Nabi Musa” saat meninjau bencana di Aceh Tengah adalah ungkapan realistis tentang keterbatasan manusia.Namun demikian, pernyataan tersebut sekaligus menimbulkan pertanyaan mendasar di tengah masyarakat yang saat ini masih terisolasi: apakah pemerintah pusat telah menggerakkan seluruh kewenangannya secara optimal untuk menyelamatkan warga didaerah yang terisolir ?
Dalam sistem pemerintahan modern, “tongkat Nabi Musa” bukanlah mukjizat. Tongkat itu adalah otoritas negara, anggaran darurat, instruksi presiden, kebijakan cepat, serta kemampuan teknis yang dimiliki kementerian dan lembaga-lembaga pusat. Di tangan pemerintah pusat, seluruh instrumen itu adalah kekuatan yang jika digunakan tepat, mampu membuka jalan yang terputus, menghadirkan jembatan darurat,dan memastikan tidak ada satu wargapun dibiarkan menunggu dalam kesunyian bencana.
*Negara Tidak Dituntut Melakukan Mukjizat Hanya Diminta Bertindak*
Masyarakat Linge, Bintang, Rusip, dan wilayah pedalaman lainnya tidak menuntut keajaiban.Mereka tidak meminta laut dibelah atau gunung di pindahkan.
Yang mereka minta hanya kerja cepat, kehadiran negara,dan perhatian serius terhadap akses vital yang telah dua pekan terabaikan.
Masyarakat hanya ingin memastikan bahwa ketika bencana meruntuhkan jembatan dan memutus jalan nasional, negara tidak ikut memutus harapan.
*Kewenangan Pusat Adalah Tanggung Jawab, Bukan Sekadar Seruan Kolaborasi*
Benar, penanganan bencana membutuhkan kerja sama antara pusat dan daerah. Namun dalam struktur kebencanaan nasional, pemerintah pusat memiliki posisi komando tertinggi,baik dalam pendanaan, logistik, maupun pengerahan alat berat dan jembatan darurat.
Ketika pemerintah pusat menyatakan tidak mungkin menyelesaikan persoalan seketika, masyarakat kembali bertanya: Apakah semua kewenangan yang ada sudah digunakan maksimal sebelum kalimat itu diucapkan?
Koordinasi penting, tetapi dalam kondisi darurat, keputusan cepat lebih penting daripada rapat panjang. Itulah esensi “tongkat” yang masyarakat harapkan untuk diayunkan.
*Jembatan Putus dan Jalan Nasional Bukan Isu Daerah Semata*
Kerusakan jembatan, runtuhan tebing, dan jalan nasional yang terputus adalah persoalan yang otomatis menjadi domain pusat.
Karena itu masyarakat berharap:
1. Jembatan Bailey digelar segera, bukan ditunggu
2. Helikopter logistik diterjunkan tanpa menunggu laporan bertumpuk
3. SK status darurat dipercepat
4. Pendistribusian pangan nasional dilakukan tanpa menunda waktu
Semua itu merupakan langkah-langkah yang sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah pusat.
*Tongkat Itu Ada Tinggal Diambil dan Diayunkan*
Pernyataan Presiden seharusnya menjadi titik balik.Jika beliau mengakui tidak memiliki “tongkat Nabi Musa”, maka rakyat ingin mengingatkan secara hormat:
Tongkat itu sesungguhnya ada dalam bentuk kewenangan negara.
Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mengayunkannya.
Masyarakat Aceh Tengah, khususnya mereka yang terisolasi di pedalaman, tidak meminta mukjizat. Mereka hanya ingin pemerintah pusat hadir dengan seluruh kekuatan yang telah diberikan undang-undang kepadanya.*