Oleh: M. Mude Sastra Atmaja & Agusmidah
Konflik sosial di antara masyarakat adat sering muncul akibat ketimpangan pengakuan hak atas tanah, peminggiran kearifan lokal, dan tumpang-tindih peraturan antara hukum nasional dan hukum adat. Dalam banyak kasus, penyelesaian konflik tersebut tidak bisa hanya mengandalkan hukum nasional atau pendekatan represif, melainkan perlu mekanisme yang memperhatikan nilai, norma, dan struktur sosial masyarakat adat. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk kebijakan (policy) yang secara eksplisit mengakomodasi hak dan mekanisme adat yang dalam kerangka ini bisa disebut sebagai “enactment policy” untuk memberikan kerangka hukum yang menghormati dan mengakui keberadaan serta kearifan lokal masyarakat adat.
Konsep “enactment policy” dalam konteks masyarakat adat merujuk pada regulasi atau kebijakan publik yang mengakui dan mengintegrasikan norma adat dan mekanisme adat sebagai bagian dari sistem hukum dan penyelesaian konflik. Bila dirancang dan diimplementasikan dengan baik, kebijakan semacam ini dapat memperkuat legitimasi masyarakat adat, meningkatkan partisipasi komunitas lokal, dan memungkinkan penyelesaian konflik dengan cara yang sesuai secara budaya, adil, dan berkelanjutan.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa pendekatan berbasis adat dan partisipasi masyarakat lokal terbukti lebih efektif dalam konteks penyelesaian konflik sosial di komunitas adat. Misalnya, dalam penelitian internasional pada komunitas adat, ditemukan bahwa sistem resolusi konflik adat yang menekankan musyawarah, keadilan restoratif, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kolektif — lebih efektif dibandingkan penerapan hukum formal asing yang sering mengabaikan konteks budaya.
Di Indonesia sendiri, sejumlah penelitian empiris menunjukkan bahwa hukum adat dan lembaga adat memiliki peranan penting dalam meredam konflik lokal. Sebuah studi di Dusun Talang Silungko menunjukkan bahwa hukum adat dengan posisi sebagai hukum publik, privat, maupun “pucuk undang” dipakai sebagai mekanisme penyelesaian konflik sosial internal desa. Sementara itu, implementasi penyelesaian konflik dengan mengandalkan kearifan lokal dan nilai adat terbukti asalkan diiringi dengan pengakuan formal dan integrasi dengan sistem hukum nasional.
Implementasi kebijakan yang mengakui masyarakat adat dan hukum adat kerap menghadapi tantangan: tumpang-tindih regulasi, kurangnya pengakuan resmi terhadap pranata adat atau tokoh adat, serta kurangnya mekanisme mediasi yang berkelanjutan dan kontekstual. Diperlukan kebijakan yang jelas, enactment policy yang mengatur bagaimana masyarakat adat dan lembaga adat terlibat dalam penyelesaian konflik, termasuk mekanisme mediasi, peran tokoh adat dan prosedur penyelesaian konflik yang menghormati adat dan hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
Penelitian ini penting untuk dilakukan dan juga diharapkan dapat mengidentifikasi bagaimana enactment policy dapat dirancang atau telah diterapkan, bagaimana dampaknya terhadap efektivitas penyelesaian konflik sosial pada masyarakat adat, serta apa saja hambatan dan peluang implementasinya. Hasil penelitian diharapkan memberikan rekomendasi kebijakan yang konkret bagi pemerintah, lembaga adat dan masyarakat adat guna terciptanya penyelesaian konflik yang adil, efektif dan berkelanjutan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka. Menurut Abdul Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan ialah penelitian yang menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpus seperti buku, majalah, dokumen, sejarah atau penelitian kepustakaan murni yang terkait dengan obyek penelitian. Analisa data akan menggunakan Teknik yuridis kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan dalam konteks kehidupan nyata untuk menyelidiki dan memahami fenomena, termasuk apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan bagaimana terjadinya.
Dalam menganalisis permasalahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik dengan turunannya berupa teori SAT (Source, Accelerator, Trigger). Ichsan Malik untuk menjelaskan mengapa suatu insiden dapat menimbulkan konflik di daerah lain. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena peneliti ingin mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang Strategi Pemerintah Daerah Dalam Penanganan Konflik Sosial, yang dapat menjadi modal dasar kekuatan ketika menghadapi konflik sosial yang terjadi, maupun yang terkait dengan peran para aktor dalam meresolusi konflik di Indonesia, dengan menggali dan menganalisis informasi-informasi secara mendetail dari sumber-sumber penelitian.
PEMBAHASAN
Konflik sosial yang melibatkan masyarakat adat di Indonesia umumnya bersumber dari ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, khususnya tanah dan wilayah adat. Proses pembangunan, ekspansi investasi, serta kebijakan negara yang belum sepenuhnya mengakui hak-hak masyarakat adat sering kali memicu benturan kepentingan antara masyarakat adat dengan negara maupun pihak swasta. Konflik tersebut tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga kultural, karena menyangkut identitas, nilai-nilai adat, dan keberlanjutan sistem kehidupan masyarakat adat.
Dalam perspektif teori konflik sosial (Karl Marx), konflik pada masyarakat adat mencerminkan ketimpangan relasi kekuasaan antara kelompok dominan (negara dan pemodal) dengan kelompok masyarakat adat. Negara, melalui regulasi dan kebijakan pembangunan, kerap memposisikan masyarakat adat sebagai objek pembangunan, bukan subjek yang memiliki hak kolektif. Akibatnya, masyarakat adat mengalami marginalisasi sosial, ekonomi, dan hukum yang memicu resistensi dan konflik berkepanjangan.
Konflik merupakan ekspresi dari adanya perbedaan kepentingan, perbedaan nilai dan keyakinan yang dianut. Konflik muncul disebabkan oleh terjadinya perubahan sosial. Konflik itu memakan biaya sosial yang mahal, hal ini dikarenakan untuk menyelesaikan sebuah konflik dibutuhkan energi sosial dan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, kehidupan bersama perlu dikelola dengan baik, supaya harmoni sosial dapat terpelihara. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa heterogenitas sosial yanag ada sering menjadi penyebab ketidakharmonisan di tengah kehidupan masyarakat. Perbedaan etnis, latar belakang pendidikan, perbedaan agama dan strata sosial ekonomi kerap kali belum dapat dikelola secara baik.
Konflik sosial pada masyarakat adat juga dapat dipahami melalui teori Struktural-fungsional Talcott Parsons. Konflik muncul karena terganggunya keseimbangan system sosial akibat ketidaksinkronan antara hukum negara dengan hukum adat. Ketika pranata adat tidak diakomodasi dalam system hukum formal, maka terjadi disfungsi sosial yang memicu ketegangan dan konflik terbuka di tingkat lokal.
Berbicara dengan adat yang mana sering diketahui bahwa merupakan kesepakatan stigma masyarakat yang sengaja dibangun dalam hal kehidupan social controlling. Lebih mendalam kembali dengan adat selalu berkutat apa yang dimaksud penjabaran nilai, etika, dan moral baik secara individu atau biasa disebut intrapersonal sampai bahkan yang dihadapkan antara personal individu terhadap masyarakat luas lebih lanjut warga adat. Adat yang selalu dikaitkan dengan kedekatan konsep Psikologis secara dinamis mengikuti situasi dan keadaan masyarakat itu sendiri dengan mengacu pada petuah leluhur yang dikembangkan. Yang mana jika selalu berbicara adat seperti halnya berbicara dalam halnya penyelesaian setiap permasalahan yang dihadapi dimana pada lembaga adat selalu mengedepankan pola – pola perdamaian. Konflik antar kelompok dalam masyarakat sering kali menjadi masalah laten.
Pemerintah memiliki peran strategis dalam mencegah dan menyelesaikan konflik sosial yang melibatkan masyarakat adat, baik sebagai pembuat kebijakan, fasilitator, maupun mediator. Peran ini secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab melakukan pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca-konflik.
Dalam konteks masyarakat adat, Pasal 2 UU No. 7 Tahun 2012 menekankan prinsip penghormatan terhadap nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Hal ini berarti pemerintah tidak dapat menyelesaikan konflik sosial semata-mata melalui pendekatan represif atau hukum formal, melainkan harus mengintegrasikan mekanisme adat, tokoh adat, dan norma lokal sebagai bagian dari proses resolusi konflik. Pendekatan ini sejalan dengan teori resolusi konflik berbasis komunitas (community-based conflict resolution) yang menekankan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelesaian konflik.
Proses penyelesaian konflik biasanya mengandalkan pendekatan berbasis kekuasaan (power-based approach) yang memiliki banyak kelemahan. Pendekatan ini cenderung bersifat represif, mengutamakan kekuatan senjata daripada modal sosial yang ada, bersifat top-down, dan lebih berpihak pada kepentingan elit dibanding masyarakat umum. Oleh karena itu, pendekatan berbasis komunitas (community-based approach) menjadi alternatif yang perlu dikembangkan. Modal sosial menjadi elemen kunci dalam manajemen konflik berbasis komunitas. Modal sosial, seperti yang diuraikan oleh Putnam, mencakup jaringan, norma, dan rasa percaya (trust) yang memungkinkan masyarakat bertindak lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial mencerminkan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menjaga integrasi sosial.
Peran pemerintah juga mencakup pengakuan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat. Pengakuan wilayah adat, legislasi lembaga adat, serta harmonisasi kebijakan sectoral merupakan Langkah structural yang penting untuk mencegah konflik berulang. Tanpa pengakuan hukum yang jelas, penyelesaian konflik cenderung bersifat sementara dan berpotensi melahirkan konflik berulang di kemudian hari.
KESIMPULAN
Konflik sosial yang melibatkan masyarakat adat merupakan akibat dari ketimpangan relasi kekuasaan, pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil, serta ketidaksinkronan antara hukum negara dan hukum adat. Enactment policy memiliki peran penting dalam meningkatkan efektivitas penyelesaian konflik sosial dengan cara mengakui, melindungi, dan mengintegrasikan nilai, norma, serta mekanisme adat ke dalam sistem hukum nasional. Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan dan mediator, berkewajiban menerapkan pendekatan berbasis komunitas yang menghormati kearifan lokal sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012. Tanpa pengakuan hukum yang jelas terhadap masyarakat dan wilayah adat, penyelesaian konflik cenderung bersifat sementara dan berpotensi menimbulkan konflik berulang. Oleh karena itu, perumusan dan implementasi enactment policy yang konsisten, partisipatif, dan berkeadilan menjadi prasyarat utama bagi terciptanya penyelesaian konflik sosial masyarakat adat yang efektif dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
2023, Kasmiati et al. “No Title 済無 No Title No Title No Title” 32, no. 3 (2021): 167–86.
Afrihadi, Aldi, Syarief Makyah, Feni Rosalia, Maulana Mukhlis, Adat : Pendekatan, Manajemen Konflik, Berbasis Komunitas, Terhadap Penyelesaian, Konflik Agraria, and Suku Anak Dalam. “Tata Kelola Pemerintahan Dalam Resolusi Konflik Masyarakat.” Jurnal Pemerintahan Dan Politik 10, no. 2 (2025): 206–19. https://doi.org/10.36982/jpp.v10i2.4930.
Bernard, Christian, Chalsabila Aurelya, Roy Costa Kurniano, and Murniyati Yanur. “Marginalisasi Masyarakat Adat Di Nusantara: Ancaman Konflik Sosial Dan Penghambatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.” Jiip: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 10, no. 2 (2025): 222–36. https://doi.org/10.14710/jiip.v10i2.27255.
Collins, Sean P, Alan Storrow, Dandan Liu, Cathy A Jenkins, Karen F Miller, Christy Kampe, and Javed Butler. “No Title 済無No Title No Title No Title” 5, no. 1 (2021): 167–86.
Exel Allolayuk, Julianto, Kusuma, Achmed Sukendro, and Pujo Widodo. “Efektivitas Penyelesaian Konflik Sosial Melalui Kearifan Lokal (Hukum Adat) Di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat.” Jurnal Kewarganegaraan 8, no. 1 (2024): 1039–46.
Ginting, J Putra, Faisal Akbar Nasution, Mirza Nasution, and Edy Ikhsan. “Locus : Jurnal Konsep Ilmu Hukum Republik Indonesia” 5, no. 2 (2025): 156–63.
Harry Saputra, Mulia Jaya, Siti Maryam. “Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat Dalam Penyelesaian Konflik Abstrak Informasi Artikel.” Jurnal Politik Dan Pemerintahan Daerah 1, no. 1 (2019): 17–29.
Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, Politik, Uyan Wiryadi, and Edy Dwi Martono. “Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana 1.” Jurnal Krisna Law 6, no. 1 (2024): 2024. https://doi.org/10.31004/innovative.v3i6.7560.
Hukum, Fakultas, and Universitas Pancasila. “Jurnal Legal Reasoning” 6, no. 1 (2023): 13–27.
Jamin, Mohammad. “Social Conflict Resolution Faculty of Law , Universitas Sebelas Maret.” Yustisia 9, no. 1 (2020): 1–20.
Lubis, Ikhsan, Taufik Siregar, Duma Indah, Sari Lubis, Rodiatun Adawiyah, and Andi Hakim Lubis. “Integrasi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional : Tantangan Dan Solusi Dalam Pengakuan Hak Ulayat” 8, no. May (2025): 143–58.
Lundy, Brandon D., Tyler L. Collette, and J. Taylor Downs. “The Effectiveness of Indigenous Conflict Management Strategies in Localized Contexts.” Cross-Cultural Research 56, no. 1 (2022): 3–28. https://doi.org/10.1177/10693971211051534.
Putra, Teguh Pratama, Subhan Widiansyah, and Muhammad Agus Hardiansyah. “Modal Sosial Pemimpin Organisasi Mahasiswa Dalam Memenangkan Pemiliihan Raya Mahasiswa Di Fkip Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Tahun 2022.” Jurnal Pendidikan Sosiologi Undiksha 6, no. 1 (2024): 55–64. https://doi.org/10.23887/jpsu.v6i1.96081.