Oleh: Muhammad Hafizh Adil Lubis & Agusmidah
Demokrasi kontemporer di berbagai negara, termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan era sebelumnya. Perkembangan teknologi informasi, kemunculan platform media sosial, fragmentasi ruang publik, serta meningkatnya persaingan politik dan ekonomi turut mempengaruhi bagaimana informasi diproduksi, disebarkan, dan dikonsumsi oleh masyarakat. Di tengah kondisi ini, pers ditempatkan sebagai salah satu pilar utama demokrasi, yang diharapkan mampu menjadi sumber informasi yang kredibel, sarana kontrol sosial, dan instrumen pembentuk opini publik yang sehat. Tanpa pers yang bebas dan bertanggung jawab, demokrasi akan kehilangan mekanisme check and balance yang esensial.
Dalam konteks Indonesia, peran pers secara tegas diatur melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lahir pada masa Reformasi, undang-undang ini menjadi tonggak penting pembebasan pers dari kontrol dan sensor negara yang dominan pada masa Orde Baru. UU Pers memberikan jaminan normatif terhadap kebebasan pers, menegaskan larangan campur tangan pemerintah, serta mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pers yang menempatkan Dewan Pers sebagai institusi independen. Secara historis, kehadiran UU ini dianggap sebagai capaian besar bagi demokratisasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Namun demikian, lebih dari dua dekade setelah diberlakukan, efektivitas dan relevansi UU No. 40 Tahun 1999 menghadapi tantangan signifikan, terutama karena transformasi besar dalam ekosistem media dan politik. Munculnya media digital dan media sosial telah mengubah pola kerja jurnalistik, meningkatkan kompetisi dalam produksi berita, serta memperlebar ruang bagi penyebaran misinformasi dan disinformasi. Sementara itu, struktur kepemilikan media yang terkonsentrasi pada sejumlah elite politik dan ekonomi turut berpotensi mempengaruhi independensi redaksi dan arah pemberitaan. Tantangan lain muncul dari adanya regulasi tambahan seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang sering kali digunakan untuk menjerat jurnalis atau masyarakat dalam konteks kebebasan berekspresi, sehingga menimbulkan disharmoni dalam sistem hukum yang mengatur media.
Secara politik, dinamika kontemporer juga memperlihatkan munculnya tekanan terhadap kebebasan pers melalui mekanisme non-formal, seperti intimidasi, kriminalisasi, atau pengiklanan sebagai alat pengaruh. Data dari berbagai lembaga menunjukkan masih adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis, pembredelan terselubung, dan intervensi terhadap redaksi media, yang menunjukkan bahwa jaminan kebebasan pers secara normatif tidak selalu terimplementasi secara efektif di tingkat praktis. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara norma hukum dan kenyataan sosial, yang memerlukan analisis mendalam melalui perspektif politik hukum.
Pengkajian mengenai politik hukum pers menjadi penting karena politik hukum menentukan arah, karakter, dan keberpihakan regulasi terhadap nilai-nilai demokrasi. Politik hukum tidak hanya mencakup undang-undang sebagai produk hukum tertulis, tetapi juga mencakup praktik penegakan hukum, interaksi antar-aktor seperti pemerintah, media, dan masyarakat, serta dinamika kekuasaan yang memengaruhi pembentukan dan implementasi kebijakan. Dengan demikian, analisis politik hukum terhadap UU No. 40 Tahun 1999 dapat mengungkap bagaimana negara menempatkan kebebasan pers dalam desain demokrasi kontemporer, serta sejauh mana perangkat hukum mampu menghadapi tantangan baru dalam ekosistem informasi modern.
Melalui pendekatan penelitian kualitatif, penelitian ini berupaya mengeksplorasi relasi antara kebebasan pers, regulasi hukum, dan tantangan demokrasi yang terus berkembang. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali makna, memahami konteks sosial dan politik, serta melihat implementasi UU Pers dari perspektif aktor-aktor yang terlibat secara langsung. Dengan menganalisis dokumen hukum, studi literatur, fenomena praktik jurnalistik, serta dinamika politik yang membentuk ruang publik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai tantangan kebebasan pers di era kontemporer.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menjadi relevan dan penting untuk dilakukan, terutama dalam rangka memperkuat kualitas demokrasi Indonesia. Temuan penelitian diharapkan tidak hanya memberikan kontribusi akademik terhadap kajian politik hukum dan studi media, tetapi juga memberikan rekomendasi praktis bagi pembuat kebijakan, organisasi pers, dan masyarakat luas tentang bagaimana memperkuat kebebasan pers dan demokrasi di tengah tantangan era informasi digital.
Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah jenis penelitian yuridis normatif atau penelitian library research, yaitu penelitian yang menggunakan buku dan berbagai tulisan sebagai bahan literatur dan referensi penulis yang didapatkan dari banyak sumber buku yang terkait dengan penelitian ini. Berdasarkan sifatnya penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif, analisis, kualitatif, serta cara berpikir induktif (induktif approach). Karena dalam penelitian ini penulis mengambil kesimpulan dengan memulai dari data yang sifatnya khusus dan diakhiri dengan kesimpulan yang sifatnya umum. Jenis data yang dipakai ialah data sekunder yakni keterangan atau wawasan yang didapatkan dari studi literatur buku, jurnal, dan riset terdahulu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 disusun dalam kerangka politik hukum reformasi yang berorientasi pada pembebasan pers dari kontrol negara. Undang-undang ini menegaskan prinsip kemerdekaan pers, menghentikan mekanisme perizinan yang bersifat represif, serta mengalihkan fungsi pengawasan dan penegakan etika ke Dewan Pers sebagai lembaga independen. Secara normatif, UU Pers mengandung semangat liberalisasi dan demokratisasi ruang publik. Namun demikian, dari perspektif politik hukum kontemporer, terdapat kelemahan normatif yang mulai tampak, seperti tidak adanya pengaturan khusus terkait media digital, lemahnya mekanisme penegakan hukum terhadap kekerasan terhadap jurnalis, serta tidak adanya sistem perlindungan hukum yang komprehensif dalam kasus kriminalisasi pers. Kelemahan ini menjadi pintu masuk bagi munculnya berbagai bentuk intervensi terhadap kebebasan pers.
Hal ini menyebabkan media arus utama sering terjebak pada logika algoritmik sehingga berdampak pada kualitas pemberitaan dan kemampuan pers menjalankan fungsi kontrol sosial.
Intervensi Politik terhadap pers masih ditemukan dalam bentuk, kriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, Tekanan ekonomi melalui iklan dan kepemilikan media, dan pembungkaman suara kritis melalui ancaman hukum atau kekerasan fisik. Praktik ini menunjukkan bahwa kebebasa pers yang dijamin UU Pers masih rentan terhadap dinamika kekuasaan di lapangan.
Struktur kepemilikan media yang terpusat pada kelompok-kelompok elite ekonomi politik menyebabkan adanya potensi konflik kepentingan dalam pemberitaan. Industri media juga mengahdapi tekanan ekonomi akibat menurunnya pendapatan iklan karena pergeseran ke platform digital. Kondisi ini memengaruhi independensi dan kualitas kerja jurnalistik.
Rendahnya literasi media masyarakat berkontribusi pada tingginya penyebaran hoaks, polarisasi dan konsumsi informasi yang tidak kritis. Dalam kondisi demikian, pers sering kehilangan otoritas moralnya sebagai sumber informasi terpercaya.
Adanya kesenjangan yang cukup signifikan antara norma hukum dan praktik di lapangan. Beberapa temuan di lapangan yaitu; mekanisme penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers belum sepenuhnya diakui oleh aparat penegak hukum; Jurnalis masih rentan terhadap tindak kekerasan dan intimidasi; Kasus kriminalisasi jurnalis sering menggunakan pasal-pasal diluar Undang-Undang Pers; Media masih menghadapi tekanan dari pemilik modal dan kepentingan politik. Kondisi ini menunjukkan lemahnya impelemtasi Undang-Undang pers yang seharusnya memberikan perlindungan penuh terhadap jurnalis dan media.
Adanya disharmoni regulasi yang memengaruhi kebebasan pers, terutama antara UU No. 40 Tahun 1999 dan UU ITE. Banyak kasus menunjukkan bahwa pasal karet dalam UU ITE lebih sering digunakan terhadap jurnalis dibandingkan mekanisme penyelesaian sengketa pers yang telah diatur dalam UU Pers. Hal ini memperlihatkan bahwa politik hukum Indonesia masih belum memberikan prioritas yang jelas terhadap kebebasan pers. Selain itu, regulasi penyiaran dan regulasi digital lainnya belum diselaraskan dengan UU Pers, sehingga menciptakan tumpang tindih kewenangan dan ambiguitas implementasi hukum.
a. Reformulasi dan revisi Undang-Undang No.40 Tahun 1999, perlu penyesuaian terhadap
b. Harmonisasi Regulasi Digital
Undang-Undnag ITE, Regulasi Penyiaran, dan regulasi perlindungan data perlu diselaraskan dengan Undang-Undang Pers agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap jurnalis.
c. Penguatan Kemerdekaan Lembaga Pers
Diperlukan kebijakan untuk memperkuat independensi Dewan Pers, memperbaiki standar profesi dan memastikan kebebasan redaksional
d. Penguatan Literasi Publik
Masyarakat harus memiliki kapasitas untuk menerima, menganalisis dan memverifikasi informasi agar jurnalis dapat menjalankan fungsinya secara efektif.
Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 tetap relevan sebagai fondasi kebebasan pers, namun belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan demokrasi kontemporer. Ketidakselarasan regulasi, intervensi politik, tekanan ekonomi, dan disrupsi digital menjadi faktor utama yang menghambat implementasinya. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan politik hukum yang berorientasi pada penguatan demokrasi dan perlindungan pers di era digital.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan analisis politik hukum mengenai tantangan demokrasi kontemporer dalam perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dapat disimpulkan bahwa keberadaan pers merupakan elemen fundamental dalam sistem demokrasi modern. Pers tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyampaian informasi kepada publik, tetapi juga berperan sebagai instrumen kontrol sosial, wahana pembentukan opini publik, serta penjaga nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan berekspresi, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan negara. Secara normatif, UU No. 40 Tahun 1999 telah memberikan jaminan yang kuat terhadap kemerdekaan pers dengan menegaskan prinsip kebebasan dari sensor, pembredelan, dan intervensi kekuasaan, sekaligus menempatkan pers sebagai institusi yang independen dan bertanggung jawab.
Namun demikian, dinamika demokrasi kontemporer menunjukkan bahwa implementasi kemerdekaan pers sebagaimana diamanatkan dalam UU Pers masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan kultural. Tantangan tersebut antara lain berupa tekanan politik dari aktor kekuasaan, kepentingan ekonomi dan oligarki media, kriminalisasi terhadap jurnalis, serta penyalahgunaan instrumen hukum di luar UU Pers yang berpotensi membatasi kebebasan pers. Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan media digital turut melahirkan persoalan baru, seperti penyebaran hoaks, disinformasi, ujaran kebencian, dan menurunnya kualitas jurnalisme akibat tuntutan kecepatan dan komersialisasi informasi. Kondisi ini menimbulkan dilema antara kebebasan pers dan tanggung jawab sosial pers dalam menjaga kualitas demokrasi.
Dari perspektif politik hukum, dapat dipahami bahwa arah kebijakan hukum pers di Indonesia sejatinya bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kemerdekaan pers dan kepentingan publik. Akan tetapi, lemahnya penegakan hukum, rendahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap prinsip-prinsip UU Pers, serta kurang optimalnya peran Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa pers menjadi faktor penghambat dalam mewujudkan kemerdekaan pers yang substansial. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan demokrasi tidak hanya bersumber dari aspek regulasi, tetapi juga dari implementasi dan budaya hukum yang berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu, penguatan demokrasi kontemporer melalui pers memerlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan. Upaya tersebut meliputi konsistensi penegakan UU No. 40 Tahun 1999 sebagai lex specialis dalam perkara pers, peningkatan profesionalisme dan integritas insan pers melalui penegakan kode etik jurnalistik, serta peningkatan literasi media masyarakat agar mampu menyaring informasi secara kritis. Dengan demikian, pers dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai pilar demokrasi yang tidak hanya bebas secara normatif, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan berkontribusi nyata dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang sehat, partisipatif, dan berkeadilan di Indonesia.