
TAKENGON, KABARGAYO – Pengerjaan pembangunan proyek Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan yang mulai dibangun sejak tahun 1995 sampai saat ini, 22 Agustus 2024 belum juga selesai.
Tidak selesainya pengerjaan pembangkit listrik ini banyak menjadi pembicaraan masyarakat umum di Kabupaten berpenghasilan kopi Arabika itu.
Bayangkan, berarti sudah 29 tahun pengerjaanya belum membuahkan hasil. Bahkan konflik lahan terus terjadi dengan masyarakat sekitar, sampai saat ini. Bahkan sampai ke pengadilan.
Lain itu, PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero juga pernah menjadi sorotan para pihak, karena diduga kelebihan bayar yang diluar akal sehat manusia, mencapai nilai, Rp.8,7 Miliar dalam pembebasan lahan PLTA Peusangan 1 dan 2 pada tahun 2020 lalu.
Kelebihan bayar ini sendiri terjadi karena adanya kelebihan pembebasan lahan seluas 2,2 hektar saat itu. Data ini diperoleh media dari salah seorang Unit Pelaksana Proyek (UPP) SBU 2 PT. PLN.
Sejak dimulai pekerjaan di proyek Peusangan, pembebasan sebenarnya sudah sudah dilakukan tahun 1998 dan 1999.
Namun, anehnya di tahun 2020, PT. PLN kembali mengeluarkan anggaran sebesar Rp 23 miliar untuk membebaskan lahan yang diklaim belum selesai.
Menurut pegawai tadi yang namanya enggan ditulis, kesulitan utama terletak pada ketidakmampuan PT. PLN untuk menemukan dokumen ganti rugi asli dari tahun 1998 dan 1999, sehingga sulit untuk menolak klaim masyarakat yang meminta pembayaran ulang.
“Pada tahun 2018, saat kami hendak membangun jembatan di Sanehen, kami mencari dokumen ganti rugi lama untuk memproses pembebasan lahan baru. Namun, luas lahan yang awalnya 3,6 hektar sesuai surat bupati, bertambah menjadi 5,8 hektar saat diproses. Tanpa dokumen awal, kami kesulitan membantah luas lahan yang diajukan masyarakat,” ungkap pegawai tersebut.
Hal itu terjadi, akibat adanya tekanan dari masyarakat dan komisi A (DPRK) setempat. Untuk memenuhi permintaan itu pihak PT.PLN meminta pendampingan dari Kejati Aceh, saat itu.
Kesepakatan pun dicapai untuk melanjutkan pembebasan lahan, dengan ketentuan, bahwa jika dokumen asli ditemukan dan masyarakat terbukti telah menerima ganti rugi sebelumnya, mereka harus mengembalikan uang yang telah diterima atau menghadapi tuntutan pidana.
Menyikapi hal itu, Abdan seorang Analis Kebijakan Publik dari Indonesian Public Institute (IPI), mengkritik langkah PT. PLN yang dianggap tidak berdasarkan acuan hukum yang jelas.
“Jika pembebasan itu berdasarkan tekanan, itu tidak logis, terkesan akal-akalan saja,” ujar Abdan kepada wartawan.
Abdan juga menyoroti potensi kerugian negara yang diakibatkan oleh kelebihan pembebasan lahan tersebut. Ia meminta pihak berwenang untuk segera melakukan pemeriksaan mendalam terhadap tim pembebasan lahan PT. PLN di Kecamatan Silih Nara pada tahun 2020.
“Ini harus ditindaklanjuti. Uang negara harus dikembalikan. Jika tidak ada upaya dari pihak PT. PLN untuk memprotes pengembalian uang negara tersebut, ada tanda tanya besar di balik pembebasan itu, atau ada permainan oknum hingga mengakibatkan kerugian negara yang lebih besar lagi dari yang diperkirakan oleh pegawai PLN tersebut,” tutup Abdan. Jurnalisa